Air mataku menetes saat membaca
novel Eliana karangan Tere Liye saat tiba di bab “Kasih Sayang Mamak”. Diceritakan
disana bahwa Eliana si anak sulung putri bapak dan mamak sedang kabur dari
rumah, karena menganggap mamaknya tidak sayang lagi padanya. Dia memutuskan
untuk kabur dari rumahnya karena suatu hal ke rumah wak Yati, kakak perempuan
bapaknya.
Setelah 3 hari kabur dari rumah dan
bapaknya memutuskan untuk menjemput Eliana pulang saat itu, tapi Eliana tetap
menolak pulang ke rumah karena masih keras kepala menganggap mamaknya tidak
sayang lagi padanya. Hingga akhirnya pada malam itu terjadi percakapan antara
wak Yati dan Eliana yang benar-benar membuat diri ini merasa ‘ditampar’.
“Jika kau tahu sedikit saja apa yang apa
yang telah dilakukan seorang ibu untukmu, bahkan yang kau tahu itu sejatinya
bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya
kepada kalian”. ketika membaca kalimat itu diri ini merasa sangat malu.
Terbayang wajah ibu, di benakku.
Sebelumnya, aku menganggap tahu semua pengorbanan ibu ku, sok tahu, sok
mengerti, padahal yang ku tahu itu belum ada apa-apanya dibanding semua yang
ibuku lakukan untuk kami anak-anaknya selama ini. Ibuku pernah bilang bahwa
kasih sayang orang tua itu sepanjang masa, sedangkan kasih sayang anak itu
hanya sepanjang tangan.
Walaupun pada awalnya aku sempat protes, namun setelah ibu menjelaskan baru aku faham. Sesayang-sayangnya
seorang anak kepada orang tuanya mereka tidak akan bisa membalas semua kasih sayang dan
pengorbanan orangtuanya itu. Ambil contoh konkretnya saja, ketika kita sudah
menikah dan memiliki keluarga baru, kita pasti akan sibuk dengan urusan kita
dan mungkin saat itu kita terkadang atau bahkan akan sering melupakan kedua
orangtua kita.
Ibu juga menjelaskan saat itu, saat kita masih bayi ibu selalu dengan
senang hati mengurus kita, memandikan, memberi makan, semuanyaaa bahkan *maaf*
saat kita buang air besar pun ibu tidak pernah merasa jijik untuk membersihkan
kotoran kita itu, meski saat itu beliau sedang makan.
Lantas apakah seorang anak akan melakukan hal yang sama ketika orang tuanya
sudah tua dan tidak bisa mengurus diri mereka sendiri lagi? Sayangnya, sedikit
sekali anak-anak yang sanggup melakukan itu. kebanyakan malah dengan tega
menitipkan orang tuanya ke panti jompo dengan alasan yang tak masuk akal,
karena sibuk, merepotkan atau apalah. Bukankah saat kita kecil orang tua kita
tak pernah hitung-hitungan dalam mengurus kita?
“Pernahkan kau memperhatikan, bukankah mamak kau yang terakhir kali
bergabung di meja makan? Bukankah mamak kau orang terakhir yang menyendok sisa
gulai atau sayur? Bukankah mamak kau yang kehabisan makanan di piring? Bukankah
mamak yang terakhir kali tidur? Baru tidur setalah memastikan kalian semua
telah tidur? Bukankah mamak yang terakhir kali beranjak istirahat? Setelah kalian
semua istirahat? Bukankah mamak kau selalu yang terakhir dalam setiap urusan.”
“Dan mamak kau juga yang selalu pertama dalam urusan lainnya. Dia yang
pertama bangun. Dia yang pertama membereskan rumah. Dia yang pertama kali
mencuci, mengelap, mengepel. Dia yang pertama kali ada saat kalian terluka,
menagis, sakit. Dia yang pertama kali memastikan kalian baik-baik saja. Mamak kau
yang selalu pertama dalam urusan itu Eli. Tidak pernahkan kau memperhatikannya?”
Kalimat-kalimat itu membuat pipi ku basah, semuanya benar, ibu adalah orang
yang pertama dan terakhir tapi mengapa aku sering melupakannya? Ibuku yang selalu
mengurus keperluanku dari dulu sampai sekarang. bahkan saat ibuku bertanya
tentang banyak hal ketika aku baru pulang dari sekolah atau dari manapun,
terkadang aku menjawabnya dengan balasan yang singkat atau malah terkadang
hanya dengan anggukan dan gelengan kepala saja, dengan alasan aku capek. Padahal
ibu sudah rela meluangkan waktu untuk memberi perhatian kepadaku setelah
beberapa waktu tak bertemu.
Terkadang ibu memintaku untuk tetap diam dirumah saat hari minggu, ibu
bilang ingin melihat wajahku setelah 6 hari aku sibuk dengan urusanku dan
mungkin bisa dibilang hanya ‘menumpang’ tidur saat malam saja dirumah. Tapi terkadang
aku menolak dengan alasan ini dan itu, bersikap sok sibuk sok..sok.. :’(
Ibu yang selalu ada saat aku sakit, bahkan ibu pasti tidak tidur semalaman
saat aku sedang sakit. Sedangankan saat ibu sakit? Aku masih tetap bisa tidur. hanya
mengurus beliau sekadarnya saja.
Ibu juga yang selalu sibuk memasak untukku saat pagi hari. Memasak ini itu,
ibu bilang tak tega kalau sampai anaknya tidak makan, ibu yang selalu menyiapkan
bekal sekolahku, setiap pagi ketika aku hendak pergi ke sekolah kotak makanan
hangat dan sebotol minum sudah tersedia rapi didekat tas sekolahku. Bahkan ibu
yang selalu repot membawakan sarapan pagiku jika aku tidak sempat makan saat
itu.
Saat teman-temanku mengeluhkan kurangnya perhatian dari ibu mereka karena
ibu mereka sibuk bekerja, saat itu aku baru menyadari bahwa ibuku adalah sosok
ibu yang baik. Aku bersyukur memiliki seorang ibu yang selalu untukku tapi
mengapa sering kali aku melupakannya? :’(
Dan pertanyaan yang sedang menari-nari di kepalaku saat ini adalah “apakah
(nanti) aku bisa sepertinya?” memperlakukan anak-anakku kelak seperti ibu
memperlakukan ku, memberi kasih sayang, perhatian, cinta dan semuanya. Bisakah
nanti aku menjadi seperti ibuku? Yang selalu ada saat dibutuhkan anaknya? Yang selalu
menjadi pertama dan terakhir bagi anak-anaknya? Aku ingin menjadi seperti ibuku
:’)
Semoga Allah melimpahkan rahmatnya untuk para ibu yang
telah merelakan hidupnya untuk melayani, mengasuh serta menjaga suami dan
anak-anaknya *Aamiin*..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar