Selasa, 04 November 2014

Karena Kita Berbeda





Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
Memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
Memaksakan kasut besar untuk tapak mungil akan merepotkan
Kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi.


Seorang laki-laki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seolah didekatkan hingga sejengkal. Lelaki itu masih berlari-lari, menutupi wajah dengan surbannya dari pasir panas yang berterbangan, mengejar dan menggiring seekor unta.

Di padang gembalaan dekatnya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik ‘Ustman ibn ‘Affan, sedang berisitirahat disana ketika ia melihat lelaki itu. Dan dia mengenalinya! “MasyaAllah, bukankah dia Amirul Mukminin?!” ujarnya.

Tak salah lagi, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al-Khaththab. “Ya Amirul Mukminin! Apa yang sedang kau lakukan ditengah angin ganas ini? Masuklah kemari!” teriak Ustman sekuat tenaga.

“Seekor unta zakat terpisah dan lepas dari kawannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku harus menangkapnya kembali .” jawab Umar. “Masuklah kemari! Aku akan menyuruh seorang pembantuku menangkapnya untukmu!” ‘Umar berteriak dari kejauhan, searanya menggema.
“Tidak! Masuklah, hai ‘Ustman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah InsyaAllah unta itu akan kita dapatkan kembali!”
“Tidak, ini tanggungjawabku. Masuklah, hai ‘Ustman, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Ustman pun masuk dan menutup pintu. Dia bersandar dibalik pintu dan bergumam, “Demi Allah, benarlah Dia dan juga Rasul-Nya. Engkau memang bagaikan Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.

‘Umar dan ‘Ustman, mereka berbeda dan masing-masingmenjadi unik karena karakter khas yang mereka miliki. ‘Umar seorang jagoan yang tumbuh di tengah Bani Makhzum nan keras dan Bani Adi nan jantan kini telah menjadi pemimpin orang-orang mukmin. Maka sifat-sifat itu; keras, tegas, jantan dan bertanggungjawab dibawa ‘Umar untuk menjadi buah bibir kepemimpinan hingga hari ini.

‘Ustman, lelaki pemalu, datang dari Bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman. ‘Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Ustman untuk ikut bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Itu bukan kebiasaan bagi ‘Ustman. Kedermawananlah yang menjadi jiwanya, andai jadi ia menyuruh seorang sahayanya mengejarkan unta zakat itu, sang budak pastilah dibebaskannya karena Allah dan dibekalinya bertimbun dinar jika berhasil membawa unta pulang.

Mereka berbeda.

 (Dikutip dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah_Salim A.Fillah)

            Ada banyak kisah orang-orang sholeh di zaman dahulu yang mengambarkan bahwa setiap individu itu berbeda dan tentunya bisa menjadi teladan bagi kita. Mungkin kita pernah merasa iri dengan apa yang dimiliki atau yang telah di raih oleh orang lain. Itu sangat manusiawi karena saya pun pernah meraskan hal yang sama.

            Pasti pernah terfikir dibenak kita, mengapa Allah memberikan si A atau si B sesuatu yang tidak kita dapatkan padahal sudah kita ikhtiarkan dan berdo’a siang malam. Mengapa? Karena Allah tahu apa yang terbaik untuk kita.

            Bisa jadi Allah tidak/belum mengabulkan hal tersebut karena hanya Dia lah yang tahu ‘ukuran’ kita, Dia yang tahu kemampuan kita. Jangan pernah berkecil hati, rencana Allah selalu jauh lebih baik daripada rencana kita.

            Seperti kutipan di awal tulisan ini tadi, bukankah sangat merepotkan jika kita umpamanya memakai sandal yang bukan ukuran kita, jika kebesaran akan sangat merepotkan kita saat memakainya pun saat kekecilan, bukankah memaksakan untuk tetap memakainya akan sangat menyakitkan kaki kita?

            Begitu juga hidup kita, Allah yang tahu persis ‘ukuran’ kita. Mungkin saja Allah belum mengabulkan keinginan atau do’a kita karena Allah tahu itu bukan ‘ukuran’ untuk kita. Bisa jadi kekecilan atau kebesaran.


“janganlah sekali-kali kau membandingkan kehidupanmu dengan orang lain. Menganggap orang lain lebih bahagia atau kenapa hidup kita begitu nestapa. Kita tak pernah tahu apa yang telah mereka lalui dan perjuangkan untuk mendapatkan kehidupan mereka yang sekarang. Karena itu bersyukurlah dengan hidupmu yang sekarang.”
(Dikutip dari Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu_Tere Liye)


            Selain ‘ukuran’ ada hal lain juga yang harus kita sadari mengenai apa yang telah kita dapatkan sekarang. Kutipan di atas sudah sangat jelas bukan? Kita tak pernah tahu apa saja yang telah orang lain raih unutk mendapatkan kehidupan mereka yang sekarang. sebagian besar manusia hanya melihat hasil akhir dan mengabaikan proses.

          Misalnya kita melihat teman kita yang sudah bekerja di salah satu perusahaan ternama dengan gaji yang sangat besar, sebagian besar manusia pasti menilai teman kita itu enak sekali hidupnya. Padahal kita tak pernah tahu proses yang sudah mereka lalui untuk mendapatkan itu, sebelumnya mereka pasti telah berjuang mati-matian untuk mendapatkan apa yang mereka dapat nikmati sekarang.

       Syukuri apa yang telah kita dapatkan sekarang adalah kunci kebahagian hidup kita. Jika kita belum mendapatkan apa yang kita inginkan ada 2 kemungkinan penyebabnya, yang pertama adalah hal tersebut bukan ‘ukuran’ kita dan yang kedua adalah kita belum benar-benar berusaha untuk mendapatkannya. Selalu bersyukur, ikhtiar,berdo’a serta tawakkal adalah kuncinya.


“Tidak ada yang kebetulan di muka bumi ini. Semua adalah skenario Tuhan, pemilik rencana paling sempurna. Dengan menyakini semua adalah skenario dari Tuhan, kita bisa menerima kejadian apapun dengan lapang dadasambil terus memperbaiki diri, agar tibalah skenario y ang lebih baik lagi.” (Tere Liye)

 Semoga bermanfaat :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar