Jumat, 12 April 2013

Atas Nama Cinta (Part 2)





Lalu, lahirlah kita. Dengan teriakan yang nyaring dan menggema, diperlihatkan wajah kita yang masih belum bisa membuka mata dan masih bermandikan darah bunda kita. Ia tersenyum, merasa dirinya paling bahagia diseluruh semesta. Padahal tadi ia berteriak-teriak kesakitan. Semua hilang ketika melihat wajah kita.

            Inilah cinta. Ayah pun menghambur masuk, mencium bunda dan segera mengumandangkan adzan ke telinga kita. Tanda syukur yang mendalam, buyar sudah semua cemas-galaunya. Inilah Cinta.

            Ketika kita tumbuh dan berkembang pun semuanya diliputi kehangatan cinta. Tangis kita menjadi usikan dikala mereka berdua tertidur, tapi dengan senang hati bunda bangun, mengganti popok yang basah, menenangkan kita yang rewel untuk tidur kembali.

            Tak beberapa saat kitapun kembali membangunkan tidur mereka yang baru sedikit pulas, kali ini karena lapar. Dengan penuh kesabaran, kembali bunda bangun dan menyusui kita sampai kita tenang dan tertidur kembali. Inilah cinta.

            Ketika kita beranjak dewasa, mereka mendengarkan semua keluhan dan makian kita. Suara kita yang keras saat marah dengan mereka, mereka balas dengan nasihat yang tulus. Diajarinya kita semua hal tentang dunia dan hidup.

            Setiap tak lupa di do’akannya kita setelah sholatnya, sampai detik ini pun ia masih berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah putra-putriku sedap dipandang mata dan berikanlah mereka hati yang lembut dan kesalehan”.

            Seringkali mereka menangis saat kita membentak mereka,sakit. Tapi esoknya, kembali diperlihatkannya  wajah dan senyum cerianya,kembali memasak makanan dan menyiapkan pakaian kita. Tanpa keluhan. Inilah cinta.

            Tapi, mari kita putar balik memori kita. Tulusnya cinta kedua orang tua kitayang selalu meberi tanpa pamrih, sudahkan kita menghargainya dan mengingatnya? Pernahkah kita membelikan hadiah kepada bunda kita, atau sekadar memeluk bunda kita dan mengucapkan, “Terima kasih yaa, Bunda”.

            Ata pemberian yang takkan bisa kita balas?pernahkah kita mengucapkan, “Terima kasih, Ayah, atas upayamu menghidupi dan mencukupi keluarga”.

            Atau pernahkah kita meminta maaf saat kita melakukan kesalahan kepada ayah kita? Atau sekadar berdoa bagi mereka berdua setelah sholat? Ingatkah kita kepada mereka berdu saat kita mendapatkan kesenangan?
             
*terharu bacanya ;')*


Dikutip dari buku, "Udah Putusin Aja"-Ust.Felix Y.Siauw
Semoga bermanfaat :')                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar